“ Mbak, kalau misalnya Rp 5.000.000,- saja gimana, mbak?
“ Maaf, sesuai dengan kontrak yang sudah ditandatangani, tetap kena denda Rp 13.000.000,-. “
“ tapi, kalau outsourcing lain bisa ditawar,Mbak”
“Kalau di sini tidak bisa. Kami manut kontrak ”
“aduh, saya lagi nggak punya uang ini…”
“kalau gitu jangan resign sekarang,mbak”
…
Pembicaraan seperti ini biasa terjadi di ruangan kantor Sumber Daya Manusia (SDM) outsourcing , di saat ada pegawai yang ingin mengundurkan diri lebih cepat dari kontrak yang sudah disetujui.
Biasanya, sebelum seseorang diterima menjadi pegawai di sebuah perusahaan, akan dilaksanakan penandatanganan kontrak kerja antara calon pegawai dan pihak perusahaan untuk mengetahui hak dan kewajiban kedua belah pihak. Dan untuk mengurangi terjadinya turn-over [1]yang tinggi, maka dalam salah satu pasal di perjanjian, disebutkanlah bahwa pegawai wajib bekerja di bawah perusahaan tersebut minimal selama 1 tahun, bila pegawai tersebut melanggar akan dikenakan penalty. Penalty atau hukuman bila pegawai itu melanggar perjanjian adalah yang bersangkutan akan dikenakan denda sejumlah Rp 13.000.000,- . Apabila seorang calon pegawai tidak menyetujui isi dari kontrak, terutama pada bagian penalty, maka calon pegawai dapat mengundurkan diri dari tawaran pekerjaan yang ada.
Bagi perusahaan, denda sejumlah Rp13.000.000 sesuai dengan usaha perusahaan dalam mencari tenaga kerja atau pegawai. Seluruh lika-liku mencari orang yang terbaik, dimulai dari tes penampilan-psikotes-wawancara, menghabiskan sejumlah uang yang tidak sedikit, sehingga kehilangan seorang pegawai yang potensial sangat tidak diinginkan. Selain itu, penalty berfungsi agar pihak calon pegawai bersikap hati-hati dalam memperlakukan pekerjaannya. Dan kontrak keja dihadirkan agar kedua belah pihak menghargai kontrak yang sudah ditandatangai di atas materai – yang berarti di bawah hukum- tersebut.
Namun, ada kalanya pegawai mengundurkan diri lebih cepat dari tanggal yang ditentukan karena berbagai alasan. Mulai dari menikah, sekolah atau mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. di saat seperti ini, pegawai yang keluar dari pekerjaan sebelum 1 tahun ini biasannya mencoba-coba untuk menawar denda penalty tadi. Bagi bagian SDM perusahaan, tawar menawar ini sungguh menyebalkan. Hal ini dikarenakan pegawai tersebut tidak menghormati kontrak yang berlaku yang berarti merupakan pelecehan pada perusahaan. Namun, pada kenyataannya, pegawai yang resign di bawah 1 tahun selalu melakukan aksi tawar harga ini.
Maka dari itu, bila terjadi dialog seperti di awal tulisan, mulailah tejadi proses tawar menawar denda ini. Tawar menawar ini bisa disetujui, tapi juga bisa ditolak habis-habisan. Semua ini tergantung dari hubungan antara pegawai dan bagian SDM atau akting yang meyakinkan dari pihak pegawai. Apabila pegawai ini memiliki hubungan yang baik dengan bagian SDM, ada kemungkinan tawar menawar bisa menghasilkan sesuatu yang positif yaitu discount denda. Namun, bila pegawai tersebut tidak memiliki hubungan yang baik dengan SDM, dapat dipastikan tidak ada diskon sama sekali.
Dialog di atas dapat dilakukan melalui telepon atau pegawai yang bersangkutan datang ke bagian SDM. Terdapat berbagai bentuk cara dan respon dari para pegawai tersebut untuk menyampaikan maksud dan tujuannya. Ada yang bergaya santai, tertekan bahkan preman. Sebaliknya, bagian SDM memiliki kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan pihak pegawai dalam merespon keadaan ini. Bila pegawai bergaya santai, maka bagian SDM akan cenderung santai dan membawa pembicaraan ini dalam nada suara yang ramah. Bagi pegawai yang cenderung keras, maka bagian SDM sedapat mungkin menenangkan pegawai tersebut agar tidak terjadi keributan.
Lanjutan dialog di atas , bila pegawai tersebut dekat dengan bagian SDM adalah
Pegawai : Aduh, kalau bisa mbok diturunin,mbak… gimana kalau 6 juta?
SDM : wah beneran susah nih, tapi kutanyakan atasan ku dulu ya?
Pegawai : iya mbak (harap-harap cemas)
SDM : (menelpon atasan untuk menanyakan masalah ini)
: (menutup ganggang telepon) (kembali ke pegawai) Saya sudah lapor atasan saya, tapi beliau bilang nggak bisa kalau segitu,mbak. Nanti kami yang dimarahi kantor pusat.
Pegawai : Haduh…..ya sudah . 9 juta gimana?
SDM : (melaporkan pada atasan) (kembali ke pegawai) Baiklah, mbak. Sepertinya atasan saya bisa mengerti kalau jumlahnya sekian. Mau resign nya tepat nya kapan mbak?
Pegawai : Wah terimakasih….
(melanjutkan pembicaraan) … … …
Namun dialog di atas tidak akan berhasil bila si pegawai tidak memiliki hubungan yang baik dengan bagian SDM. Pembicaraan hanya akan berakhir pada,” wah, tidak bisa. Kami selalu ikut kontrak.” Kecuali terjadi hal yang luar biasa, bagian SDM tetap pada pendiriannya.
Keberadaan bagian SDM yang berada di antar pegawai dan atasan membuat posisinya menjadi tidak enak. Bagian SDM tidak bisa memutuskan sesuatu seenaknya tanpa persetujuan atasan, sementara pihak pegawai hanya mengetahui bagian SDM sebagai ‘tempat untuk ditemui”. Permasalahan utama bagi pegawai SDM dalam proses tawar menawar denda ini adalah di saat atasan bagian SDM tidak hadir atau tidak dapat dihubungi. Karena tidak ada yang dapat memutuskan apakah penawaran tersebut diterima atau tidak. Akan lebuh mudah bila bagian SDM tidak mengenali si pegawai sama sekali, karena bisa menolak dengan tegas. Namun, biasanya, bagian SDM adalah bagian yang paling mengetahui riwayat para pegawai ini. Faktor ‘kasihan’ juga mempengaruhi dalam pengambilan keputusan untuk menelepon atasan.
Apapun, tawar menawar penalty ini berarti baik pihak perusahaan maupun pihak pegawai belum memiliki komitmen yang kuat atas kontrak yang ditandatangani. Namun, pegawai juga manusia yang ingin mendapatkan hal yang lebih baik.
[1] Masuk-keluarnya pegawai