MENAWAR HUKUMAN

 “ Mbak, kalau misalnya Rp 5.000.000,- saja gimana, mbak?

“ Maaf, sesuai dengan kontrak yang sudah ditandatangani, tetap kena denda Rp 13.000.000,-. “

“ tapi, kalau outsourcing lain bisa ditawar,Mbak”

“Kalau di sini tidak bisa. Kami manut kontrak ”

“aduh, saya lagi nggak punya uang ini…”

“kalau gitu jangan resign sekarang,mbak”

                Pembicaraan seperti ini biasa terjadi di ruangan kantor Sumber Daya Manusia (SDM) outsourcing , di saat ada pegawai yang ingin mengundurkan diri lebih cepat dari kontrak yang sudah disetujui.

Biasanya, sebelum seseorang diterima menjadi pegawai di sebuah perusahaan, akan dilaksanakan penandatanganan kontrak kerja antara calon pegawai dan pihak perusahaan untuk mengetahui hak dan kewajiban kedua belah pihak. Dan untuk mengurangi terjadinya turn-over [1]yang tinggi, maka dalam salah satu pasal di perjanjian, disebutkanlah bahwa pegawai wajib bekerja di bawah perusahaan tersebut minimal selama 1 tahun, bila pegawai tersebut melanggar akan dikenakan penalty. Penalty atau hukuman bila pegawai itu melanggar perjanjian  adalah yang bersangkutan akan dikenakan denda sejumlah Rp 13.000.000,- . Apabila seorang calon pegawai tidak menyetujui isi dari kontrak, terutama pada bagian penalty, maka calon pegawai dapat mengundurkan diri dari tawaran pekerjaan yang ada.

Bagi perusahaan, denda sejumlah Rp13.000.000 sesuai dengan usaha perusahaan dalam mencari tenaga kerja atau pegawai. Seluruh lika-liku mencari orang yang terbaik, dimulai dari tes penampilan-psikotes-wawancara, menghabiskan sejumlah uang yang tidak sedikit, sehingga kehilangan seorang pegawai yang potensial sangat tidak diinginkan. Selain itu, penalty berfungsi agar pihak calon pegawai bersikap hati-hati dalam memperlakukan pekerjaannya.  Dan kontrak keja dihadirkan agar kedua belah pihak menghargai kontrak yang sudah ditandatangai di atas materai – yang berarti di bawah hukum- tersebut.

Namun, ada kalanya  pegawai mengundurkan diri lebih cepat dari tanggal yang ditentukan karena berbagai alasan. Mulai dari menikah, sekolah atau mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.  di saat seperti ini, pegawai yang keluar dari pekerjaan sebelum 1 tahun ini biasannya mencoba-coba untuk menawar denda penalty tadi. Bagi bagian SDM perusahaan, tawar menawar ini sungguh menyebalkan. Hal ini dikarenakan  pegawai tersebut tidak menghormati kontrak yang berlaku yang berarti merupakan pelecehan pada perusahaan.  Namun, pada kenyataannya, pegawai yang resign di bawah 1 tahun selalu melakukan aksi tawar harga ini.

Maka dari itu, bila terjadi dialog seperti di awal tulisan, mulailah tejadi proses tawar menawar denda ini. Tawar menawar ini bisa disetujui, tapi juga bisa ditolak habis-habisan. Semua ini tergantung dari hubungan antara pegawai dan bagian SDM atau akting yang meyakinkan dari pihak pegawai.  Apabila pegawai ini memiliki hubungan yang baik dengan bagian SDM, ada kemungkinan tawar menawar bisa menghasilkan sesuatu yang positif yaitu discount denda. Namun, bila pegawai tersebut tidak memiliki hubungan yang baik dengan SDM, dapat dipastikan tidak ada diskon sama sekali.

Dialog di atas dapat dilakukan melalui telepon atau pegawai yang bersangkutan datang ke bagian SDM. Terdapat berbagai bentuk cara dan respon dari para pegawai tersebut untuk menyampaikan maksud dan tujuannya. Ada yang bergaya santai, tertekan bahkan preman. Sebaliknya, bagian SDM memiliki kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan pihak pegawai dalam merespon keadaan ini.  Bila pegawai bergaya santai, maka bagian SDM akan cenderung santai dan membawa pembicaraan ini dalam nada suara yang ramah. Bagi pegawai yang cenderung keras, maka bagian SDM sedapat mungkin menenangkan pegawai tersebut agar tidak terjadi keributan.

Lanjutan dialog di atas , bila pegawai tersebut dekat dengan bagian  SDM adalah

Pegawai               : Aduh, kalau bisa mbok diturunin,mbak… gimana kalau 6 juta?

SDM                      : wah beneran susah nih, tapi kutanyakan atasan ku dulu ya?

Pegawai               : iya mbak (harap-harap cemas)

SDM                      : (menelpon atasan untuk menanyakan masalah ini)

: (menutup ganggang telepon) (kembali ke pegawai) Saya sudah lapor atasan saya, tapi beliau bilang nggak bisa kalau segitu,mbak. Nanti kami yang dimarahi kantor pusat.

Pegawai               : Haduh…..ya sudah . 9 juta gimana?

SDM                      : (melaporkan pada atasan) (kembali ke pegawai) Baiklah, mbak. Sepertinya atasan saya bisa mengerti kalau jumlahnya sekian. Mau resign nya tepat nya kapan mbak?

Pegawai               : Wah terimakasih….

(melanjutkan pembicaraan) … … …

Namun dialog di atas tidak akan berhasil  bila si pegawai tidak memiliki hubungan yang baik dengan bagian SDM. Pembicaraan hanya akan berakhir pada,” wah, tidak bisa. Kami selalu ikut kontrak.” Kecuali terjadi hal yang luar biasa, bagian SDM tetap pada pendiriannya.

Keberadaan bagian SDM yang berada di antar pegawai dan atasan membuat posisinya menjadi tidak enak. Bagian SDM tidak bisa memutuskan sesuatu seenaknya tanpa persetujuan atasan, sementara pihak pegawai hanya mengetahui bagian SDM sebagai ‘tempat untuk ditemui”. Permasalahan utama bagi pegawai SDM dalam proses tawar menawar denda ini adalah di saat atasan bagian SDM tidak hadir atau tidak dapat dihubungi. Karena tidak ada yang dapat memutuskan apakah penawaran tersebut diterima atau tidak. Akan lebuh mudah bila bagian SDM tidak mengenali si pegawai sama sekali, karena bisa menolak dengan tegas. Namun, biasanya, bagian SDM adalah bagian yang paling mengetahui riwayat para pegawai ini.  Faktor ‘kasihan’ juga mempengaruhi dalam pengambilan keputusan untuk menelepon atasan.

Apapun, tawar menawar penalty ini berarti baik pihak perusahaan maupun pihak pegawai belum memiliki komitmen yang kuat atas kontrak yang ditandatangani. Namun, pegawai juga manusia yang ingin mendapatkan hal yang lebih baik.


[1] Masuk-keluarnya pegawai

TENAGA KERJA OUTSOURCING: KORBAN ATAU PENIKMAT KAPITALISME


Abstract

Kehadiran perusahaan outsourcing dalam industry ketenagakerjaan menghasilkan kelas baru, yaitu tenaga kerja outsourcing. Keberadaan tenaga kerja outsourcing hadir di antara pemilik modal dan buruh.  Tenaga kerja ini, oleh Marx disebut sebagai proletar. Namun tenaga kerja outsourcing memiliki perbedaan dengan tenaga kontrak karena mampu mengakses perlindungan yang lebih baik. Penghisapan tenaga kerja memang terjadi, namun dibalik semua itu , tenaga kerja outsourcing bisa disebut menjalani keadaan itu tanpa ada perlawanan. Berarti mereka mampu beradaptasi dan bisa survive dalam keadaan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa menjadi tenaga kerja outsourcing tidak hanya menjadi korban namun juga menjadi aktor yang melanggengkan kapitalisme.

Latar Belakang

Bekerja melalui perusahaan outsourcing sudah bukan menjadi hal yang tidak biasa lagi . Pengambilan keputusan untuk bekerja melalui perusahaan outsourcing pun terjadi karena banyak alasan. Namun bagaimanakah konsep bekerja itu? Sandra Wallman mengatakan bahwa,

“ Work is about the physical and psychic energy a worker puts into producing, maintaining, converting economic resources; but that choices, decisions and rewards of the worker are constrained by the logic of the system in wich he works” (Wallman:1979:p.2)

Dengan konsep bekerja Sandra Wallman, maka keputusan untuk berprestasi dalam sebuah pekerjaan adalah keputusan pekerja, namun pemberian penghargaan atas prestasi yang pekerja lakukan tergantung dari logika sistem tempat dia bekerja. Hal ini sesuai dengan keadaan dunia pekerjaan saat ini, khususnya di dunia outsourcing, dimana prestasi yang dilakukan oleh pekerja adalah salah satu cara untuk memenuhi kewajiban pada perusahaan, namun penghargaan atas prestasi sangat bergantung atas keputusan perusahaan, apakah akan dihargai atau tidak dipedulikan sama sekali.

Realita yang ada, tenaga kerja outsourcing dapat ditemui di berbagai jenis pekerjaan, mulai dari pegawai bank sampai dengan operator telepon seluler. Ketidakadilan pendapatan dan kewajiban membayangi kehadiran tenaga kerja outsourcing ini. Tentu saja ada berbagai konflik pada fenomena tenaga kerja outsourcing ini, namun perlawanan ini hanya dilakukan oleh tenaga kerja outsourcing yang berasal dari industry ritel dan dikota besar (Carefour Jakarta). Perlawanan seperti itu tidak terdengar dari tenaga kerja outsourcing yang berasal dari industry perbankan maupun operator seluler.

Keadaan ini menimbulkan pertanyaan , yaitu bagaimanakah tenaga kerja outsourcing merefleksikan keadaan mereka? Sehubungan dengan keadaannya sebagai tenaga outsourcing, namun tidak terlihat adanya gerakan untuk merubah nasib untuk lebih baik.

Perusahaan Outsourcing dan Tenaga kerja Outsourcing

Untuk menjawab hal-hal di atas, maka pertama-tama, akan di jelaskan mengenai perusahaan outsourcing terlebih dahulu:

Outsourcing is subcontracting a process, such as product design or manufacturing, to a third-party company. The decision to outsource is often made in the interest of lowering firm costs, redirecting or conserving energy directed at the competencies of a particular business, or to make more efficient use of land, labor, capital, (information) technology and resources. Outsourcing became part of the business lexicon during the 1980s.“ (Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Outsourcing)

Atau dengan kata lain outsourcing atau alih daya merupakan proses pemindahan tanggung jawab tenaga kerja dari perusahaan induk ke perusahaan lain diluar perusahaan induk. Perusahaan diluar perusahaan induk bisa berupa vendor, koperasi ataupun instansi lain yang diatur dalam suatu kesepakatan tertentu. Outsourcing dalam regulasi ketenagakerjaan bisa hanya mencakup tenaga kerja pada proses pendukung (non–core business unit) atau secara praktek semua lini kerja bisa dialihkan sebagai unit outsourcing. (“Seputar Tentang Tenaga Outsourcing”, http://malangnet.wordpress.com)

Bila merujuk pada Undang Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Outsourcing (Alih Daya) dikenal sebagai penyediaan jasa tenaga kerja seperti yang diatur pada pasal 64, 65 dan 66., yaitu:

Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan adalah perusahaan lain yang menerima penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan. (http://hukum.kompasiana.com/2011/05/17/undang-undang-mengenai-outsourcing/).

Dari ketiga definisi tersebut maka perusahaan outsourcing/alih daya/penerima pemborongan pekerjaan adalah perusahaan yang bertanggungjawab untuk menerima penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan, khususnya penyerahan tanggungjawab dalam bidang tenaga kerja yang berhubungan dengan proses pendukung di perusahaan tersebut.

Awalnya, perusahaan outsourcing menyediakan jenis pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan bisnis inti perusahaan dan tidak mempedulikan jenjang karier. Seperti operator telepon, call centre, petugas satpam dan tenaga pembersih atau cleaning service. Namun saat ini, penggunaan tenaga kerja outsourcing semakin meluas ke berbagai lini kegiatan perusahaan. Dengan menggunakan tenaga kerja outsourcing, perusahaan tidak perlu repot menyediakan fasilitas maupun tunjangan makan, hingga asuransi kesehatan. Meski menguntungkan perusahaan, namun sistem ini merugikan untuk tenaga kerja outsourcing. Selain tak ada jenjang karier, terkadang gaji mereka dipotong oleh perusahaan induk. Pemotongan gaji dilakukan sebagai bentuk uang jasa mencari pekerjaan dari tenaga kerja kepada perusahaan outsourcing.

Tenaga kerja outsourcing memiliki kewajiban yang sama dengan pegawai tetap. Mulai dari akumulasi waktu yang dihabiskan untuk bekerja sampai dengan kewajiban pada pekerjaan intinya. Bahkan, mereka cenderung masih harus lembur. Namun , kewajiban-kewajiban ini memang tidak disertai dengan hak atau gaji yang sama dengan pegawai tetap. Pendapatan pegawai tetap mendapatkan jumlah gaji 2 atau 3 kali lebih banyak daripada gaji yang diterima oleh tenaga kerja outsourcing.

Tabel Pro – Kontra Penggunaan Outsourcing

PRO OUTSOURCING

KONTRA OUTSOURCING

–       Business owner bisa fokus padaa core business.

–       Cost reduction.

–       Biaya investasi berubah menjadi biaya belanja.

–       Tidak lagi dipusingkan dengan  turn over tenaga kerja.

–       Bagian dari modenisasi duniaa usaha (Sumber : Pekerjaan Waktu Tertentu dan “Outsourcing, http://www.sinarharapan.co.id)

 

–    Ketidakpastian status ketenagakerjaan dan ancaman PHK bagi tenaga kerja. (Sumber: http://www.hukumonline.com)

–    Perbedaan perlakuan Compensation and Benefit antara tenaga kerja internal dengan tenaga kerja outsource. (Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra” http://recruitmentindonesia.wordpress.com)

–    Career Path di outsourcing seringkali kurang terencana dan terarah. (Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra” http://recruitmentindonesia.wordpress.co)

–    Perusahaan pengguna jasa sangat mungkin memutuskan hubungan kerjasama dengan outsourcing provider dan mengakibatkan ketidakjelasan status kerja buruh.  (Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra” http://recruitmentindonesia.wordpress.co)

–    Eksploitasi manusia (Sumber : Pekerjaan Waktu Tertentu dan “Outsourcing, www.sinarharapan.co.id)

 

Melalui tabel diatas, maka dapat terlihat bahwa tenaga kerja outsourcing menjadi pihak yang dirugikan bila bersangkutan dengan untung-rugi dalam pelaksanaan praktek kerja perusahaan. Tabel bagian pro berisi keuntungan-keuntungan yang diterima oleh perusahaan partner. Ketimpangan ini menjadi alasan yang kuat bagi tenaga kerja outsourcing untuk mempertanyakan eksistensinya di perusahaan, baik perusahaan outsourcing maupun perusahaan partner. Pada kenyataannya, tidak banyak tenaga outsourcing yang melakukan protes, apabila melakukan protes, hal ini hanya dilakukan oleh sebagian kecil saja.

Dualisme Tenaga Outsourcing

Tenaga kerja outsourcing memiliki dualisme dalam eksistensinya di industri ketenagakerjaan. Dualisme ini dapat dilihat dari keberadaanya di perusahaan outsourcing dan peusahaan dimana tenaga outsourcing ini ditempatkan.

  1. Tenaga kerja dari sebuah perusahaan outsourcing

Keberadaan tenaga kerja outsourcing di perusahaan outsourcng adalah sebagai tenaga kerja yang wajib memenuhi kewajibannya sebagai pekerja dan mendapatkan haknya (gaji/pendapatan).  Dalam perusahaan outsourcing, keberadaannya diperkuat dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang menjelaskan bahwa tenaga kerja ini adalah benar-benar telah melakukan persetujuan dengan perusahaan outsourcing. Perusahaan outsourcing wajib memberikan gaji/pendapatan maupun perlindungan-perlindungan lain, seperti asuransi kesehatan.

 

  1. Tenaga kerja yang ditempatkan di perusahaan yang bekerjasama dengan perusahaan outsourcing

Perusahaan outsourcing melakukan kerjasama dengan perusahaan lain untuk membantu mengelola tenaga kerja yang dimiliki ke perusahaan tersebut. Sehingga, tenaga kerja outsourcing merupakan pegawai dari perusahaan outsorcing, namun dipekerjakan di perusahaan yang bekerjasama dengan perusahaan outsourcing[1].

Kewajiban tenaga kerja outsourcing di dalam perusahaan klien ditentukan oleh perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh perusahaan outsourcing dan perusahaan klien. Sehingga, pada kesehariannya, tenaga outsourcing bekerja di perusahaan klien.

Dalam sebuah perusahaan klien, terdapat pegawai perusahaan klien yang disebut dengan pegawai tetap. Keberadaan tenaga outsourcing di perusahaan klien menimbulkan sebuah kelompok tersendiri , yaitu kelompok tenaga kerja outsourcing.  Keberadaan kelompok pegawai tetap, biasanya, mendorong tenaga kerja outsourcing untuk bekerja lebih baik agar menjadi pegawai tetap.

Eksistensi tenaga outsourcing di dua perusahaan sekaligus cenderung membuat tenaga outsourcing ini bingung dalam menentukan identitasnya. Seorang tenaga kerja outsourcing cenderung merasa ragu akan identitas pekerjaannya. Hal ini beralasan karena tenaga kerja outsourcing terkadang dapat sewaktu-waktu diberhentikan. Namun yang lebih esensial adalah, keadaan yang secara fisik bekerja di perusahaan partner, namun secara perlindungan psikis ,tenaga kerja outsourcing berada dalam payung perusahaan outsourcingnya, membuat mereka berdiri di atas dua dunia.

Pembentukan kelas baru tenaga outsourcing

Tenaga outsourcing tidak ubahnya sebagai kelas buruh yang termarginalisasi dengan kehadiran kelas pemilik modal. Namun ,sepertinya  dari kelas buruh ini masih terdapat stratifikasi tersendiri. Penulis melihatnya dengan membandingkan tenaga kerja outsourcing yang dipekerjakan pada industry perbankan atau telekomunikasi dan tenaga kerja kontrak yang dipekerjakan di bidang garmen.

Tenaga kerja outsourcing merupakan tenaga kerja yang dikontrak oleh perusahaan outsourcing dan dipekerjakan di perusahaan lain. Hal ini pada prinsipnya tidak berbeda dengan dengan tenaga kerja kontrak. Namun, saat lebih diperhatikan, tenaga kerja outsourcing memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan tenaga kontrak biasa;

Perbandingan Tenaga Kerja Outsourcing dan Tenaga Kerja Kontrak Biasa

Variabel

Tenaga Kerja Outsourcing

Tenaga Kerja kontrak

Surat Kontrak PKWT (Perjajian Kerja Waktu Tertentu)

Ada, diberikan pada tenaga kerja

Ada, belum tentu diberikan ke tenaga kerja

Asuransi

Ada

Tidak ada

Jamsostek

Ada

Tidak ada

Pendapatan/Gaji

Dijelaskan,lengkap dengan potongan yang akan diberlakukan (pajak, potongan untuk tenaga outsourcing)

Dijelaskan

Kesempatan naik jabatan

Ada, bila berprestasi dapat naik jabatan menjadi pegawai tetap di perusahaan dimana yang bersangkutan dipekerjakan

Tidak ada

Tabel diatas menggambarkan bahwa tenaga outsourcing memiliki beberapa kelebihan daripada tenaga kerja kontrak. Tenaga kerja outsourcing memiliki ‘payung’ yang jelas yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dari perusahaan outsourcing yang diserahkan pada tenaga kerja sebagai bukti ketenagakerjaannya. PKWT berisi semua hak dan kewajiban tenaga kerja dan perusahaan outsourcing. Dengan adanya PKWT, tenaga kerja memiliki pegangan dalam melakukan pekerjaannya. Hal ini tidak dimiliki pekerja kontrak biasa, terutama pekerja kontrak yang bekerja di bidang garmen.

Seorang tenaga kerja outsourcing juga terlindungi oleh adanya asuransi kesehatan dan jamsostek, yang wajib diberikan oleh perusahaan outsourcing pada tenaga kerjanya. Dan, walaupun pendapatan mereka dipotong, namun hal itu diberitahukan kepada tenaga kerja outsourcing di awal perjanjian kontrak. Faktor-faktor seperti asuransi, jamsostek maupun penjelasan mengenai potongan-potongan gaji tidak diberikan pada pegawai kontrak.

Penggambaran ini menunjukkan bahwa di kelas buruh pun terdapat peng-kelas-an. Tenaga kerja outsourcing memiliki keuntungan yang lebih daripada tenaga kerja kontrak biasa.

Tenaga outsourcing ,korban atau penikmat sistem kapitalisme

Awalnya merasa menderita namun akhirnya terbiasa. Begitulah nasib tenaga outsourcing di perbankan. Mereka bangga bahwa mereka bekerja di sebuah perusahaan besar, walaupun pada kenyatannya mereka adalah pegawai tenaga kerja outsourcing. Mereka lebih mengidentifikasikan diri sebagai tenaga kerja di perusahaan dimana mereka ditempatkan, daripada sebagai tenaga kerja outsourcing.

Ron Eyerman (1981) berargumen bahwa kesadaran palsu merupakan pengalaman dalam kehidupan social sementara ideology merupakan penjelasan dari pengalaman tersebut. Hal ini menjelaskan keadaan tenaga kerja outsourcing yang cenderung menikmati bekerja di perusahaan dimana dia ditempatkan karena dihormati masyarakat. Penempatan tenaga kerja outsourcing di beberapa bank besar membuat eksistensi mereka di hadapan masyarakat dipandang lebih baik. Sehingga,mereka tidak merasa keberatan akan timpangnya beratnya pekerjaan dan pendapatan yang mereka dapatkan.

Atau para tenaga outsourcing ini berasal dari keluarga yang mampu, sehingga tidak memperdulikan pendapatan yang diterima. Karena mereka sudah berkecukupan, mereka tidak lagi merasa kekurangan, yang penting sudah bekerja di kantor yang terkenal pula.

Fenomena ini menjadi kritik dari teori perjuangan kelas Marx, Magnis-Suseno (1999) mengatakan Tujuan dari Marx mengenai  teori kelas antara lain adalah karena perjuangan kelas dilakukan untuk mencapai masyarakat tanpa kelas. Marcus dan Menzies (2005) pun menguatkan bahwa Tujuan dari penelitian mengenai Antropologi perjuangan kelas adalah sebuah praktik antropologis dengan tujuan akhir untuk mencapai masyarakat tanpa kelas .Namun hal ini tidak dapat menjelaskan keadaan tenaga outsourcing yang merasa nyaman dalam kelasnya.  Walaupun , tenaga kerja outsourcing ini berusaha untuk menjadi pegawai tetap dalam perusahaan, namun kenyataan untuk ‘sudah memiliki pekerjaan’ , sepertinya lebih membuat mereka tenang daripada menjadi pengangguran.

Kesimpulan

            Tenaga outsourcing dapat membentuk kelas tersendiri, baik dari kelas buruh, maupun menjadi kelas tersendiri di dalam industry ketenagakerjaan. Posisinya yang berada ‘diantara’ membuat kekhasan tersendiri, yang membedakannya dengan kelas buruh lainnya.

Beberapa keuntungan dalam menjadi tenaga outsourcing dengan ketersediaan asuransi dan jamsotek, membuat tenaga kerja outsourcing sedikit lebih terlindungi daripada tenaga kontrak biasa. Namun, keadaan yang cukup nyaman ini terkadang membuat kelompok tenaga kerja outsourcing ini terlena dan cenderung tidak melakukan adanya pergerakan untuk memperbaiki nasib mereka. Mereka cenderung merasa sudah ‘cukup’ dalam posisinya.

Pertanyaan kemudian kembali timbul ketika munculnya Peraturan Bank Indonesia nomor  13/ 25 /PBI/2011 mengenai Prinsip Kehati-hatian bagi Bank Umum Yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain  Peraturan ini berisikan mengenai pelarangan tenaga outsourcing untuk pekerjaan yang bersifat privat bagi perusahaan klien, seperti customer service dan teller. Peraturan baru ini mengarahkan tenaga outsourcing pada jenis pekerjaan marketing atau pemasaran. Peraturan ini dapat merubah pemetaan tenaga outsourcing, karena banyak tenaga outsourcing saat ini yang bekerja di bidang customer service dan teller. Peraturan ini mengancam kelanjutan bisnis outsourcing dan menjadi ancaman bagi tenaga kerja outsourcing. Bagaimanakah solusi yang akan dilakukan oleh perusahaan outsourcing? Bagaimana negara akan menanggung calon pengangguran yang cukup besar saat terjadi PHK besar-besaran untuk customer service dan teller bagi para tenaga outsourcing?


[1] Selanjutnya disebut perusahaan klien